Lima Tips Berinteraksi ‘Aman’ Selama Proses Ta’aruf Hingga Hari Pernikahan

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2014/07/10/53495/lima-tips-berinteraksi-aman-selama-proses-taaruf-hingga-hari-pernikahan

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pernikahan yang berkah tidak hanya ditandai dengan keberkahan saat pelaksanaan hari pernikahan, tetapi juga dari awal proses yang dijalani hingga menuju pernikahan tersebut. Tentunya bukan diawali dengan proses 'pacaran' yang menyimpang dari syariat, namun diawali dengan ta'aruf (pranikah) yang diikhtiarkan untuk dijalani sesyar'i mungkin. Berikut ini saya sampaikan lima tips berinteraksi 'aman' selama proses ta'aruf hingga pernikahan.

1. Rahasiakan Proses

"Rahasiakan pinangan, umumkanlah pernikahan (HR. Ath Thabrani)

Pinangan/lamaran/khitbah dianjurkan untuk dirahasiakan, apalagi proses ta'aruf yang mendahului proses pinangan tersebut. Berlanjutnya proses ta'aruf bukan jaminan kelak berlanjut hingga pernikahan, sehingga untuk menjaga dari rasa malu dan jadi bahan pembicaraan seandainya kelak proses tidak berlanjut, maka rahasiakanlah proses taaruf yang dijalani.

Ada yang berpendapat seperti ini : "Bukannya sebaiknya khitbah dipublikasikan sehingga tidak 'salah khitbah', mengkhitbah wanita yang sedang dalam masa khitbah? Kan ada larangan untuk mengkhitbah seorang wanita yang sudah dikhitbah rekan yang lain?" Silakan cek tulisan saya sebelumnya ini : Tiga Tips Seputar Penolakan Ta'aruf. Ada tahap 'observasi' yang perlu dijalani sebelum memutuskan untuk mengajukan ta'aruf kepada seorang akhwat, tidak dengan tiba-tiba langsung mendatangi wali si akhwat untuk mengkhitbah. Dengan observasi ini status seseorang sudah dikhitbah atau belum bisa diketahui secara jelas tanpa ada keharusan untuk mempublikasikan status 'mengkhitbah' ataupun 'terkhitbah', sehingga tidak perlu sampai mendapat malu karena ditolak akhwat yang sedang dalam masa khitbah.

Ada juga kisah nyata seseorang yang proses ta'aruf 'bocor' ke pihak yang tidak bertanggung jawab, dan pihak tak bertanggung jawab tersebut berusaha menyebarkan fitnah dan mempengaruhi kedua pihak yang berta'aruf agar proses ta'aruf tidak berlanjut. Kuat dugaan pihak tersebut adalah 'barisan patah hati' dari salah satu atau kedua pihak yang sedang berproses, yang tidak terima 'incarannya' berproses dengan yang lain. Karena itu, rahasiakanlah proses ta'aruf agar aman dari hal semacam ini.

2. Menjaga Hati

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu, kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)

Adanya kecenderungan hati dalam proses ta'aruf tak bisa dihindarkan, meskipun dirasakan dengan kadar yang berbeda-beda oleh setiap orang. Rasulullah pun menganjurkan salah seorang sahabatnya untuk melihat siapa yang akan dilamarnya, agar menemukan sisi-sisi manusiawi yang membuat hati cenderung kepadanya, sehingga semakin yakin dan semakin mantap untuk menikahinya. Meskipun demikian, sebelum akad nikah terucap pihak yang berta'aruf tetaplah dua insan lawan jenis yang terbatasi oleh syariat. Bahkan setelah khitbah hingga sepersekian detik menjelang akad nikah terucap, syariat tetaplah membatasi, baik itu dari pola interaksi, komunikasi, dan pengekspresian rasa yang ada di hati.

Perkuat doa dan perbanyaklah ibadah selama berjalannya proses sebagai energi yang membentengi hati. Jagalah apa yang dirasa di hati agar tidak sampai melalaikan cinta tertinggi kepada-Nya, hingga jatuh ke perbuatan yang menjurus ke zina hati. Yang berhak mendapatkan seratus persen apa yang dirasa itu adalah pasangan yang kelak akan dihalalkan dalam akad nikah, bukan yang masih belum ada ikatan sah. Bersabarlah, hingga kelak akad nikah akan menghalalkan apa yang dirasa.

3. Berkomunikasi Seperlunya

"Witing tresno jalaran soko kulino."

Pepatah Jawa yang kurang lebih artinya "cinta tumbuh karena terbiasa" ini cukup erat kaitannya antara tips ketiga ini dan tips kedua di atas. Beda rasanya apabila komunikasi dilakukan dengan rekan kerja atau rekan satu organisasi tanpa ada hubungan spesial, dibandingkan dengan komunikasi antara dua insan yang sedang berta'aruf sehingga memerlukan penyikapan khusus. Semakin sering berkomunikasi, maka akan semakin meningkat pula kadar kecenderungan hati yang dirasakan dari dua lawan jenis yang bertautan hati. Semakin besar kadar kecenderungan hati yang dirasa, maka akan semakin susah mengontrol hati tersebut. Pelibatan mediator sebagai perantara komunikasi bisa dipilih agar komunikasi bisa berjalan aman, sehingga ada pihak yang bisa mengingatkan sekaligus menyaring hal apa saja yang perlu dikomunikasikan dan tidak perlu dikomunikasikan selama proses ta'aruf.

Apabila proses ta'aruf berlanjut hingga khitbah dan memasuki persiapan pernikahan, komunikasi secara langsung bisa dimungkinkan untuk melancarkan persiapan, namun harus tetap berpegang pada rambu-rambu syariat yang ada. Media komunikasi lewat SMS bisa dijadikan prioritas utama, karena dengan dikenakannya tarif SMS tentunya akan menjadi 'penghambat' untuk sering berkomunikasi dibandingkan bila berkomunikasi lewat aplikasi BBM atau Whatsapp yang bisa dikatakan 'gratisan'. Komunikasi lewat telepon sebisa mungkin dihindari, karena suara yang terdengar bisa saja membuat jantung berdegup lebih kencang.

Berkomunikasilah saat ada hal-hal yang penting untuk dipersiapkan, misalnya untuk persiapan administrasi di KUA, persiapan perlengkapan hari pernikahan, koordinasi dengan panti asuhan anak yatim yang akan disantuni di acara nikahan, dan hal penting lainnya. Gaya komunikasi pun perlu diperhatikan, gunakanlah gaya komunikasi yang sewajarnya dan tidak 'memancing-mancing' komunikasi lanjutan yang tidak perlu. Silakan bandingkan dua gaya komunikasi ini :

Gaya komunikasi pertama
1. "Untuk kelengkapan administrasi di KUA mohon disiapkan KTP dan Kartu Keluarga akhi. Besok bisa akhi antar langsung ke kantor KUA."
2. "Undangan dari keluarga saya ada 300 orang. Mohon disiapkan sejumlah itu, insya Allah besok mbak saya akan mengambil undangannya ke rumah ukhti."
3. "Saya sudah silaturahim ke panti anak yatim siang ini, insya Allah ada sepuluh anak yatim yang akan hadir di acara santunan saat pernikahan nanti."


Gaya komunikasi kedua
1. "Akhi, besok datang pagi-pagi ke KUA bawa KTP dan Kartu Keluarga ya. Jangan kebanyakan begadang nonton Piala Dunia, nanti bangunnya kesiangan. ;)"
2. "Ukhti, untuk keluarga saya perlu 300 undangan ya. Oiya, desain undangannya bagus sekali. Suka banget dengan desain buatan ukhti ini. :)"
3. "Ukhti, waktu silaturahim di panti anak yatim tadi saya bertemu adik-adik yang lucu-lucu deh. Mereka mendoakan semoga pernikahan kita nanti SAMARA. :D"

Dua gaya komunikasi di atas terlihat cukup berbeda bukan? Gaya komunikasi pertama terkesan 'datar' tanpa ekspresi, sedangkan gaya komunikasi kedua terlihat 'cair', tampak cukup akrab. Apalagi ditambah 'icon' kedipan, senyum, dan tertawa yang bisa jadi berefek ke si pembaca, sampai membayangkan bahwa yang mengedipkan mata itu si pengirimnya. Hindarilah gaya komunikasi kedua ini. Bagi kaum akhwat yang konon hatinya cukup rapuh pada kata-kata manis, efeknya tentu akan lebih dahsyat lagi.

Yang tak kalah penting untuk diperhatikan dalam komunikasi ini adalah mengenai 'jam malam', semaksimal mungkin hindari komunikasi di malam hari. Konon, keheningan malam membuat organ tubuh manusia menjadi lebih sensitif dan mudah terangsang, sehingga setan lebih mudah mempengaruhi pikiran dan hati. Pikiran dan hati yang terpengaruhi menjadi rawan tergelincir ke kondisi 'menikmati' komunikasi malam hari, sehingga pikiran membayangkan yang tidak-tidak, selanjutnya hati berangan-angan, dan pada akhirnya bisa sampai tergelincir ke zina hati. Naudzubillah min dzalik. Berhati-hatilah dalam berkomunikasi, jagalah kehormatan diri satu sama lain, jaga kesucian hatinya dengan tidak memberikan ungkapan ataupun perhatian yang saat ini belumlah halal diterimanya.

4. Interaksi di Media Sosial

Bagi 'aktivis Facebook', berbunganya rasa di hati saat ta'aruf dijalani dan pernikahan tinggal dalam hitungan hari kadang terbawa ke media sosial Facebook. Bawaannya mendadak jadi 'romantis', sering membuat status dan memasang gambar yang 'menyerempet' ke tema seputar cinta dan pernikahan. Status 'engaged' dengan seseorang pun langsung ditampilkan di Facebook setelah acara khitbah dilaksanakan, meskipun ada anjuran untuk menyembunyikan lamaran. Saling 'nge-like' status dan saling komentar di wall Facebook pun tak hanya sekali dua kali dilakukan. Tak jarang dari status dan gambar yang 'menyerempet' itu akhirnya jadi bahan pembicaraan bagi rekan lain.

Tulislah status yang sewajarnya meskipun hati sedang berbunga-bunga, biarlah apa yang dirasa cukup diri sendiri dan Allah yang tahu. Mengulangi pesan di tips ketiga, "jagalah kehormatan diri satu sama lain, jaga kesucian hatinya dengan tidak memberikan ungkapan ataupun perhatian yang saat ini belumlah halal diterimanya."

5. Tidak Berduaan/Berkhalwat

"Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duaan dengan wanita, karena setan akan menjadi ketiganya" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Apapun jenis aktivitasnya libatkanlah orang ketiga untuk mendampingi, jangan hanya berdua-duaan. Selain mengambil celah agar tidak ditempati setan, orang ketiga tersebut bermanfaat selayaknya menjadi 'polisi' yang bertugas mendampingi, mengawal, sekaligus 'menyemprit' apabila proses terlihat mulai berbelok. Orang ketiga tersebut kelak juga bisa menjadi 'saksi', bahwa proses ta'aruf hingga pernikahan telah diikhtiarkan untuk dijalani sesyar'i mungkin sekaligus mengklarifikasi prasangka yang mungkin ada selama proses dijalani.

Terkait aktivitas khalwat ini, ada pendapat yang mengatakan bahwa pembicaraan rahasia antara ikhwan dan akhwat meskipun dilakukan lewat media komunikasi jarak jauh seperti telepon, SMS, ataupun aplikasi seperti chat Facebook, Whatsapp, dan BBM bisa dikategorikan sebagai bentuk 'khalwat online' karena dikhawatirkan bisa terjerumus ke zina hati apabila tidak bisa dijaga dengan baik. Namun, ada juga pendapat bahwa berkomunikasi secara langsung lewat media tersebut diperbolehkan asalkan adab-adab komunikasi antar lawan jenis bisa dijaga dan aman dari fitnah dan zina hati. Hadits ini bisa jadi pegangan :

"Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain mengetahuinya" (HR. Muslim)

Kembali lagi ke contoh gaya komunikasi di tips ketiga, gaya komunikasi pertama saya yakin tidak akan ada rasa malu apabila orang lain mengetahuinya, namun tidak dengan gaya komunikasi kedua yang bisa membuat muka memerah apabila orang lain mengetahuinya. Rasa malu dan enggan apabila orang lain mengetahui jenis pembicaraan yang dilakukan, bisa jadi tanda bahwa pembicaraan tersebut bukanlah pembicaraan antar lawan jenis yang layak untuk dilakukan.

Bila hati terasa susah dijaga, akan lebih aman kalau dalam komunikasi online pun juga melibatkan orang ketiga dan menghindari kontak pribadi secara langsung. Bisa dibuat group BBM atau Whatsapp yang terdiri dari minimal tiga orang, yaitu si ikhwan, si akhwat, dan orang ketiga. Orang ketiga ini bisa dipilih dari sahabat tepercaya, ataupun perwakilan dari pihak keluarga yang turut membantu dalam persiapan pernikahan. Bila ada fasilitas 'blocked contact' di aplikasi tersebut bisa juga diaktifkan agar tidak ada peluang untuk berkomunikasi pribadi secara langsung. Insya Allah pendampingan semacam ini bisa menghindari terjadinya khalwat di dunia online seperti halnya pendampingan orang ketiga untuk menghindari khalwat di dunia nyata.

Semoga tips-tips di atas bermanfaat dan memberikan pencerahan.

Wallahua'lam bishshawwab.

Salam,

maswahyu, ST. (Spesialis Ta'aruf)
www.RumahTaaruf.com